http://www.abenetwork.com/usahaarma

Saturday, October 10, 2009

ANTIBIOTIK....????? HARUS???

Tak Semua Penyakit Butuh Antibiotik
Friday February 23rd 2007, 1:02 am
Filed under: Uncategorized
Comments?

Selama ini antibiotik dipercaya sebagai obat manjur yang dapat mengenyahkan

berbagai penyakit. Padahal tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik!

Dunia kedokteran modern berkembang pesat dengan ditemukannya antibiotik pada
tahun 1928 oleh Alexander Fleming. Perkembangannya sungguh fantastis, hingga
sekian puluh tahun kemudian masyarakat begitu mudah mendapatkan antibiotik
di pasaran. Kala terserang flu atau pusing, orang dengan mudah mengobati
dirinya sendiri dengan membeli antibiotik di apotek. Sebagian beranggapan,
kalau hanya sakit ringan tidak perlu ke dokter. Toh paling-paling dokter
akan memberikan resep yang sama dengan antibiotik yang bisa dibeli sendiri
di apotek.

Padahal penggunaan antibiotik yang sembarangan dapat berakibat fatal.
"Apalagi tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik," tandas DR. Dr. Rianto
Setiabudy, dari Bagian Farmakologi FKUI.

HARUS SESUAI INDIKASI

Pada prinsipnya antibiotik adalah obat yang digunakan untuk membunuh kuman
penyakit dalam tubuh manusia dan menyembuhkannya dari infeksi. Itu pun hanya
infeksi kuman yang harus dicermati lebih dulu, sehingga antibiotik yang
diberikan bisa cocok dengan infeksi yang diderita. "Penggunaan antibiotik
yang benar harus sesuai dengan indikasinya. Contohnya ada infeksi kulit
seperti bisul atau abses," kata Rianto.

Akan halnya infeksi virus, maka pada kasus ini tidak dibutuhkan antibiotik.
Jadi pemakaian antibiotik untuk mengobati penyakit yang disebabkan virus
seperti influenza tidak disarankan. "Influenza sebetulnya tidak dapat
diobati dengan antibiotik," ungkap Rianto. Apalagi kalau ada dokter yang
memberikan dua jenis antibiotik untuk sakit flu. "Ini sangat disesalkan."

Antibiotik yang diberikan secara tidak tepat, alih-alih menyembuhkan
penyakit, yang ada justru menimbulkan banyak kerugian, di antaranya:

* Menimbulkan Kekebalan

Dalam tubuh manusia terdapat kuman-kuman "normal" yang memang dibutuhkan
tubuh dan tidak memunculkan penyakit. Dengan konsumsi antibiotik berulang,
kuman "normal" ini akan menjadi kebal. Lalu kekebalannya bisa ditularkan
pada kuman lain, termasuk kuman yang menyebabkan penyakit. Jadi antibiotik
yang dikonsumsi berulang-ulang dapat menimbulkan kekebalan, apalagi bila
penggunaan itu sebenarnya tidak perlu. Dikhawatirkan, bila terjadi infeksi
yang betul-betul membutuhkan antibiotik, obat tersebut sudah tidak lagi
efektif karena tubuh sudah resisten.

* Memunculkan Reaksi Alergi

Bila penggunaannya tidak tepat, antibiotik bisa menyebabkan alergi, seperti
gatal, mual, pusing, dan sebagainya. Seringkali dokter menanyakan apakah
pasien memiliki alergi obat tertentu atau tidak. "Dokter yang menanyakan hal
ini pada pasiennya harus dipuji karena dia termasuk dokter yang teliti,"
komentar Rianto. Sayangnya, yang sering terjadi pasien tidak tahu apakah
dirinya alergi terhadap obat tertentu atau tidak.

Lalu bagaimana sebagai pasien kita harus menjawabnya? Seandainya sama sekali
tidak tahu pasti apakah punya riwayat alergi obat atau tidak, "Sebaiknya ya
jawab apa adanya. Dokter pasti akan membantu meresepkan obat yang aman. Tapi
kalau tahu, misalnya alergi penisilin atau amoksilin, tentu dokter tidak
akan meresepkannya. "

Walaupun belum ada angka pasti berapa banyak orang yang alergi terhadap
antibiotik di Indonesia, yang paling banyak dijumpai adalah alergi
penisilin. Alergi terhadap obat biasanya ditandai dengan gejala gatal-gatal,
sesak napas ataupun reaksi lainnya.

* Harga Obat Jadi Mahal

Penambahan antibiotik yang tidak perlu akan membuat harga obat yang harus
ditebus pasien jadi makin mahal. Dalam hal ini pasien punya hak untuk
memberikan pandangannya kepada dokter. Misalnya kalau untuk sakit flu dokter
meresepkan antibiotik, tanyakan saja apakah itu memang perlu. Lebih baik
lagi, berobat saja ke dokter yang memang selektif dalam meresepkan
antibiotik.

KEMUNGKINAN EFEK SAMPING

Efek samping antibiotik tidak mesti muncul dari penggunaan jangka panjang
karena penggunaan jangka pendek pun bisa saja menimbulkan kerugian.
Misalnya, pada orang-orang tertentu, antibiotik yang masuk ke tubuh dapat
memunculkan reaksi berlebihan. Akibat yang paling parah di antaranya Sindrom
Steven Johnson, yang bisa berujung kematian.

Adapun jangka waktu penggunaan antibiotik sangat bervariasi tergantung pada
berat ringannya penyakit. Untuk infeksi kuman yang ringan, penggunaan selama
lima hari sudah cukup. Sedangkan untuk infeksi kuman yang sifatnya khusus,
seperti TBC, waktu yang dibutuhkan jelas lebih lama, minimal 6 bulan.
Berikut beberapa contoh antibiotik dan kemungkinan efek samping yang bisa
ditimbulkannya:

Namun, bukan berarti obat-obat tersebut tidak boleh dikonsumsi, karena
manfaatnya justru besar bila digunakan dengan indikasi yang benar. Sudah
banyak bukti bahwa antibiotik dapat menyelamatkan nyawa manusia. Yang perlu
kita lakukan adalah bersikap hati-hati, karena penggunaannya yang salah
dapat berakibat fatal.

Jenis antibiotik

Efek samping

Gentamisin

Kerusakan ginjal

Kloramfenikol

Kerusakan sumsum tulang sehingga berpengaruh pada produksi sel darah merah
dan sel darah putih, bisa mengakibatkan kematian.

Penisilin

Syok anafilaksis (turunnya tekanan darah secara drastis dan tiba-tiba, bisa
menyebabkan kematian) atau reaksi pada kulit

Sulfa

Reaksi hipersensitivitas

DOSIS DULU DAN SEKARANG

Selama pengobatan, biasanya antibiotik diminum 2-3 kali sehari. Akan tetapi
seiring dengan kemajuan dunia kedokteran, antibiotik jenis tertentu bisa
dikonsumsi hanya satu kali sehari. Soal efektivitasnya, menurut Rianto sama
saja. Kalau antibiotik yang diberikan 3 kali sehari punya masa kerja kurang
lebih 8 jam, maka yang dosisnya 1 kali sehari pun dibuat dengan masa kerja
yang lebih lama.

Ada keuntungan lebih yang didapat dengan mengonsumsi obat sekali sehari,
yakni terhindar dari kemungkinan lupa dan tidak harus terlalu sering minum
obat. Lebih menyenangkan, bukan? Namun, harap diingat antibiotik yang bisa
diminum sekali sehari belum tersedia untuk semua penyakit infeksi kuman.

HARUSKAH DIHABISKAN?

Bila penggunaan antibiotik tersebut tepat sesuai indikasi, tak ada cara lain
kecuali harus dihabiskan. Contohnya untuk infeksi saluran pernapasan bawah
yang disebabkan oleh kuman. Kalau dokter meresepkan harus dikonsumsi selama
7 hari dan harus dihabiskan, maka selama 7 hari itu harus benar-benar
dihabiskan, supaya tidak terjadi pemburukan pada penyakit tersebut.

Sedangkan antibiotik yang tidak tepat penggunaannya, misalnya untuk flu yang
memang tidak membutuhkan antibiotik ya sebaiknya segera dihentikan. Makin
cepat menghentikan konsumsi antibiotik yang tidak benar, tentu semakin baik.

JANGAN UBAH BENTUKNYA

Yang juga harus diingat adalah jangan mengubah bentuk antibiotik yang
diresepkan dokter. Bila bentuknya tablet, maka obat itu harus dikonsumsi apa
adanya. Seringkali karena kesulitan minum obat, maka sebelum diminum tablet
itu digerus dulu. Atau kalau berupa kapsul dibuka dulu kemasannya. Ini jelas
tidak benar. Pemakaian obat yang salah tidak akan menghasilkan efek maksimal
lantaran obat tersebut tidak diserap tubuh secara optimal.

Contohnya, tidak semua tablet bisa digerus karena ada yang dilapisi dengan
lapisan khusus agar tidak teroksidasi. Bila isi tablet tersebut terpapar
sinar matahari atau zat lainnya, maka stabilitasnya jadi menurun. Bahkan
obat yang digerus di apotek pun tidak sepenuhnya aman dari human error.
"Karena setelah digerus obat tersebut harus melalui beberapa proses lagi,
seperti ditimbang dan sebagainya, sehingga rawan salah."

Belum lagi ada beberapa antibiotik tertentu yang dilapisi enteric coated
tablet. Pelapisan ini dimaksudkan supaya obat tidak pecah di lambung. Ingat
lambung memiliki kondisi asam yang akan merusak antibiotik sebelum diserap
oleh tubuh. Kalau obat tersebut dapat terjaga utuh sampai usus halus yang
kondisinya sudah tidak asam lagi, maka obat tersebut terhindar dari
kerusakan dini dan dapat diserap tubuh dengan baik.

Itulah mengapa di beberapa negara maju, seperti Amerika dan Australia, sudah
tidak ada lagi obat yang dikonsumsi dalam bentuk puyer. "Semua obat
dikonsumsi apa adanya, sehingga lebih aman."

ANTIBIOTIK GENERIK VS PATEN

Belakangan marak dikampanyekan pemakaian obat generik, termasuk jenis
antibiotik. Adakah perbedaan efektivitas antara antibiotik generik dengan
yang paten? "Sama sekali tidak ada," tandas Rianto. Obat generik sama
manjurnya dengan obat paten. Bahkan seringkali diproduksi di pabrik yang
sama dengan proses yang sama pula.

Bedanya yang satu diberi nama dagang dan menjadi obat paten yang harganya
lebih mahal. Sedangkan yang tidak memakai nama dagang atau dikenal dengan
istilah generik, harganya relatif lebih murah.

Namun harus diingat tidak semua obat memiliki versi generiknya. Kalau memang
obat tersebut tidak ada generiknya, mau tidak mau pasien harus membeli obat
dengan merek paten.

MINUMLAH OBAT SEPERLUNYA

Ada beberapa hal yang dianjurkan Rianto sehubungan dengan konsumsi
antibiotik, berikut di antaranya;

- Orang tua sebaiknya "waspada" dengan mencari dokter yang bisa meresepkan
obat secara baik dan benar.

- Bila diresepkan sederet obat dan banyak macamnya, sebaiknya langsung
tanyakan. Dokter yang baik hanya akan meresepkan obat yang memang sesuai
dengan indikasi penyakit yang diderita pasien saja.

- Kalau demam, batuk, dan flu ringan, boleh saja menggunakan obat yang
dijual di pasaran sebagai pertolongan pertama tapi jangan langsung
mengandalkan antibiotik.

- Jangan sembarangan menggunakan antibiotik, meski mungkin bisa dibeli
sendiri di apotek.

Marfuah Panji Astuti


Tips Agar Ibu Sehat
Friday February 23rd 2007, 1:00 am
Filed under: Uncategorized
Comments?

Lengkaplah kebahagiaan keluarga dengan kehadiran si Kecil yang sehat. tetap tampil menarik seusai masa bersalin merupakan keinginan wanita. Kami coba tampilkan tips singkat untuk diet sehat dan alami, serta pemenuhan nutrisi yang di butuhkan saat menyusui.

Diet sehat dan alami

ASI eksklusif
Menyusui bayi secara ekslusif selama 6 bulan, secara alami dapat membantu mengembalikan berat badan ideal Anda.

Pola Makan Seimbang
Produksi ASI ditentukan oleh faktor nutrisi, frekuensi pengisapan dan faktor emosi. Jadi tidak ada pantangan dalam memilih makanan. Terapkan pola makan seimbang dengan kombinasi Karbohidrat, Protein dan Lemak untuk produksi ASI.

Perawatan Bayi Mandiri
Perhatian dan energi banyak tercurah dalam merawat si Kecil secara mandiri. Melelahkan memang, tapi tanpa disadari berat badan pun turun perlahan.

Nutrisi untuk Ibu menyusui

Vitamin D dan Kalsium
Berguna untuk pembentukan tulang dan gigi. Vitamin D dan Kalsium terserap masuk ke dalam ASI. Untuk mengatasi asupan vitamin D dan kalsium tersebut, atasilah dengan minum susu rendah kalori atau berjemur di pagi dan sore hari.

Zat Besi
Menjaga daya tahan tubuh, meningkatkan vitalitas dan produktivitas. Terdapat dalam daging berwarna merah, hati, makanan laut dan sayuran hijau.

Asam Folat
Mencegah kurang darah (anemia). Banyak terdapat dalam hati ayam, bayam dan sayuran hijau.

Vitamin E
Berfungsi sebagai antioksidan yang melindungi dari radikal bebas, meningkatkan stamina dan daya tahan tubuh. Terdapat dalam makanan berserat, kacang-kacangan, minyak nabati dan gandum

Zinc (Seng)
Mendukung sistem kekebalan tubuh, penyembuhan luka dan mendukung pertumbuhan normal. Terdapat dalam daging, telur dan gandum.

Magnesium
Dibutuhkan dalam setiap sel tubuh untuk membantu gerak otot, fungsi syaraf dan memperkuat tulang. Terdapat dalam gandum dan kacang-kacangan.

sumber : sahabat nestle


Jika Ibu Harus Kembali Bekerja
Friday February 23rd 2007, 12:59 am
Filed under: Uncategorized
Comments?

Cuti melahirkan hampir habis. Anda pun harus bersiap-siap meninggalkan si kecil di rumah untuk kembali bekerja. Bagi kebanyakan ibu bekerja hal ini memang tidak mudah, bahkan mungkin sangat sulit dilakukan. Berbagai perasaan berkecamuk. Di satu sisi, Anda sudah harus kembali bekerja atau tak sabar kembali mengaktualisasi diri dan berinteraksi dengan dunia luar. Namun di lain sisi, perasaan ingin tetap bersama si kecil untuk memastikan ia mendapatkan perawatan terbaik dan perhatian sering mengganggu pikiran. Belum lagi rasa bersalah harus meninggalkan si kecil di rumah.
Mengatur agar keduanya berjalan baik memang akan menjadi tantangan bagi ibu bekerja. Namun, dengan perencanaan, komitmen dan niat yang kuat, Anda pasti bisa mengatasinya.

Sebelum kembali bekerja

a.. Cari pengasuh yang dapat diandalkan. Inilah keputusan penting dan menjadi prioritas utama bagi ibu yang akan kembali bekerja, karena dapat membantu memberikan rasa tenang saat meninggalkan si kecil di rumah. Pilihannya bisa beragam, mulai sang nenek, saudara, baby sitter, atau menyerahkan pengasuhan pada lembaga penitipan anak terpercaya.
b.. Bicaralah dengan atasan Anda mengenai tugas dan jadwal Anda saat kembali bekerja. Jadi saat bekerja Anda pun sudah tahu tahu persis apa yang diharapkan oleh atasan.
Saat waktu bekerja tiba

a.. Be organized! Bekerja dan mengasuh anak menuntut Anda untuk juga ahli dalam manajemen waktu. Organisasikan semua tugas dan tanggung jawab Anda dengan baik, agar tak ada satu hal pun yang tertinggal.
b.. Jaga kedekatan dengan si kecil. Walaupun harus berada jauh di luar rumah, pastikan Anda tetap berhubungan dengannya, misalnya dengan menelepon si kecil untuk mengetahui apa yang sedang dia lakukan. Menurut Alan Greene, MD, spesialis anak dari Lucile Packard Childrens Hospital, California, bayi sudah dapat mengenali Anda sejak dalam kandungan dengan semua inderanya. Karena itu, baju, foto dan rekaman suara Anda yang sedang bercerita juga dapat menjadi alat yang efektif untuk membuat si kecil merasa dekat.
c.. Antisipasi bila si kecil sakit. Tanyakan pada atasan Anda mengenai kemungkinan Anda bisa tidak masuk saat si kecil sakit. Jika tidak bisa, mintalah suami atau keluarga dekat lain untuk menggantikan Anda menjaganya.
d.. Ada kalanya rasa sedih dan bersalah begitu mengganggu pikiran, karena Anda tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengan si kecil, cobalah untuk membicarakannya dengan pasangan atau ibu lain yang menghadapi situasi serupa. Tetapi jika perasaan ini semakin menjadi-jadi, segera konsultasikan dengan ahli untuk mengatasinya.
e.. Jangan paksa untuk melakukan semua hal sendiri. Buatlah sistem yang membantu Anda melakukan beberapa tugas dengan bantuan suami, anggota keluarga lain,atau pun pembantu.
f.. Luangkan waktu untuk diri sendiri. Walaupun sulit, Anda juga perlu waktu untuk diri sendiri. Saat si kecil tertidur atau dijaga oleh pasangan, manfaatkanlah waktu tersebut untuk sekedar berlama-lama di kamar mandi, membaca buku atau mendengarkan musik kesayangan dan mengembalikan kesegaran pikiran atau beristirahat. Karena bagaimanapun, jika pikiran Anda tidak dipenuhi stres, Anda pun bisa menikmati waktu bersama di kecil dengan lebih baik.
g.. Tetaplah memberikan ASI. Tak ada yang dapat menyangkal kehebatan manfaat ASI bagi si kecil. Karena itu, berusahalah untuk tetap memberikan ASI padanya walaupun Anda sudah bekerja. Walau tidak bisa sesering sebelumnya, cobalah untuk menyusui si kecil waktu pagi atau malam hari. Bonusnya, Anda dan si kecil dapat merasakan kedekatan yang terjalin selama proses menyusui. Di luar itu, Anda dapat memompa ASI agar si kecil tetap bisa meminumnya saat Anda tidak berada di rumah.
h.. Jaga kesehatan dan rajin berolahraga. Olahraga membuat sirkulasi darah menjadi lancar. Ini dapat mengurangi stres dan rasa penat tubuh. Pastikan Anda memiliki pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan seimbang dan bergizi. Kondisi kesehatan menjadi syarat mutlak bagi ibu berperan ganda. Jika Anda sakit-sakitan bisa dipastikan semuanya akan terbengkalai. Urusan anak dan rumah tak bisa dilakukan dengan baik, Anda pun akan sering minta izin. Situasi bisa menjadi rumit dan mempengaruhi penilaian di kantor.

sumber : sahabat nestle


Ayo Renang
Friday February 23rd 2007, 12:58 am
Filed under: Uncategorized
Comments?

Ayo Renang

20-Februari- 2007

Memperkenalkan anak dengan air memang terkadang tidak mudah. Rasa enggan basah atau takut seringkali kita temui pada si kecil. Namun adapula anak-anak yang telah mengenal air justru menemukan bahwa kegiatan ini sungguh menyenangkan. Dan dari banyak pengamatan bisa disimpulkan, anak-anak sebenarnya sangat menyenangi air selain pasir. Tinggal kemudian bagaimana orangtua melatih anak untuk terampil dalam air atau berenang. Bagaimana cara memulainya serta apakah yang harus diperhatikan? Yuk, ajak anak bermain air sesuai dengan tahap usianya.
6 Bulan-1 Tahun
Bila Anda mulai berpikir untuk mengenalkan air di usia ini, maka itu adalah tindakan pintar, karena si kecil sudah cukup umur untuk berenang. The American Association of Pediatrics merekomendasikan para orangtua untuk mengikutsertakan anaknya dalam les berenang setelah ulang tahunnya yang ke-4, disaat anak telah berkembang dan mampu untuk belajar mengambang. Sebelum itu pelajaran akan lebih fokus untuk melakukan permainan air, dasar-dasar berenang, serta keselamatan di dalam air. Sejalan dengan pertambahan usianya, ajak anak untuk berpengalaman dan merasa nyaman di dalam air. "Tanpa les anak akan menjadi tidak mahir, tetapi dengan mengikuti program berenang maka anak akan menguasai keahlian renang yang akan berlangsung selamanya," ujar Connie Harvey, pakar National Health and safety dari American Red Cross.

Pelajaran:

a.. Ajak anak masuk ke dalam air, bukan belajar bagaimana berenang.
b.. Tunjukkan bagaimana mencipratkan air.
c.. Bernyanyi bersama sambil mengajaknya berkeliling kolam berenang.
d.. Atau memainkan mainan air.
Tips aman:
a.. Pastikan bayi selalu dalam rengkuhan Anda.
b.. Jangan merendamkan anak di bawah usia 3 tahun, karena pada usia ini anak mampu meneguk banyak air dan dapat menyebabkan masuknya zat-zat kimia dalam darahnya.
c.. Gunakan popok khusus untuk berenang.
d.. Jika kolam renang berada di rumah, pastikan bahwa si kecil tidak akan mampu menjangkaunya.
2-3 Tahun
Pelajaran:
a.. Gunakan pelampung pada lengan atau perutnya, lalu ajak si kecil untuk melakukan permainan air yang memungkinkan Ia menggerakan tangan atau kakinya. Contoh, melempar bola lalu ajak Ia untuk mengambilnya.
a.. Tunjukan bagaimana membuat gelembung dalam air, sehingga anak belajar untuk mendekatkan wajahnya ke air tanpa harus menyelam.
Tips aman:
a.. Meski memakai pelampung pastikan agar Anda tidak lengah, jangan biarkan Anak bermain sendiri.
b.. Tetap pastikan anak tidak dapat menjangkau kolam sendiri.
c.. Ajarkan dan tekankan agar anak tidak pergi ke kolam tanpa orangtua.
d.. Jangan tinggalkan mainan apapun dalam kolam, karena dikhawatirkan anak akan berusaha untuk mengambilnya.
4-5 Tahun
Pelajaran:
a.. Anak Anda telah siap untuk mengikuti kursus berenang.
b.. Anda dapat ikut serta dalam kelas pertamanya agar anak merasa nyaman.
c.. Mulai pelajaran dengan mengajarkan bagaimana menyelupkan kepala dan tahan selama 5-10 hitungan.
d.. Coba meluncur tanpa asisten.
e.. Gerakan tangan dan kaki ketika berenang.
f.. Serta memberitahukan bagaimana cara mengambang dalam air.
Tips aman:
a.. Meski tidak harus selalu memeganginya, namun pastikan pelatih selalu siap meraihnya bila terjadi apa-apa.
b.. Bersabarlah, jangan paksa anak pada satu aktivitas bila ia belum siap.
c.. Jangan mengharapkan orang akan mengawasi anak, meski lifeguard.
d.. Tidak semua anak mau membiarkan wajahnya terkena air, latihlah dengan membiasakan di bawah shower ketika mandi.
6 tahun ke atas
Pelajaran:
a.. Pada usia ini anak sudah mampu menahan nafas lebih lama di dalam air, berenang, serta meraih benda di bawah kolam.
b.. Anak telah mampu untuk melompat dari daratan ke dalam air.
c.. Anda sudah dapat mengajarkan berbagai gaya renang, seperti gaya dada dan gaya punggung.
d.. Latihlah untuk memperjauh jarak renangnya sedikit demi sedikit.

Tips aman:
a.. Tetaplah mengawasi anak meski Anda tidak harus berenang bersamanya. Meski anak telah menguasai gerakan ia tetap bisa kelelahan.
b.. Tekankan bahwa anak diizinkan berenang hanya jika ada orang dewasa yang mengawasi.
c.. Waspadai perbedaan berenang di kolam renang dan di pantai. Pengawasan Anda sangat dibutuhkan bila anak berenang di alam.
d.. Pastikan anak menggunakan jaket pelampung ketika naik kapal atau waterskiing, meski Ia telah mahir berenang.
sumber : sahabat nestle


Salmonella Q&A
Friday February 23rd 2007, 12:56 am
Filed under: Health
Comments?

Salmonella Questions and Answers
By USDA
Feb 20, 2007 - 6:59:31 PM

Editor’s note:

ConAgra is recalling Great Value peanut butter and Peter Pan peanut butter with a product code starting with 2111 printed on the lid because the products have been linked to Salmonella induced foodborne illness in 300 people nationwide. The recall could cause a loss of $20 to $50 million in sales.

Consumers need to know that salmonella contamination in peanut butter is extremely rare and should not hesitate to enjoy peanut butter again. Plus, tainted peanut butter does not cause too much of a harm to a person with healthy immune system.

The following is provided by the U.S. government and cited here for readers who are interested in knowing more about Salmonella.

Salmonella Questions and Answers

"Salmonella" bacteria are the most frequently reported cause of foodborne illness. In order to reduce salmonella-induced illness, a comprehensive farm-to-table approach to food safety is necessary. Farmers, industry, food inspectors, retailers, food service workers, and consumers are each critical links in the food safety chain. This document answers common questions about the bacteria "Salmonella, " describes how the Food Safety and Inspection Service (FSIS) of the U.S. Department of Agriculture (USDA) is addressing the problems of "Salmonella" contamination on meat and poultry products, and offers guidelines for safe food handling to prevent bacteria, such as "Salmonella, " from causing illness.

Q. What is Salmonella?

A. Salmonella is a gram-negative, rod-shaped bacilli that can cause diarrheal illness in humans. They are microscopic living creatures that pass from the feces of people or animals to other people or other animals.

The Salmonella family includes over 2,300 serotypes of bacteria which are one-celled organisms too small to be seen without a microscope. Two types, Salmonella Enteritidis and Salmonella Typhimurium are the most common in the United States and account for half of all human infections. Strains that cause no symptoms in animals can make people sick, and vice versa. If present in food, it does not usually affect the taste, smell, or appearance of the food. The bacteria live in the intestinal tracts of infected animals and humans.

Salmonella bacteria have been known to cause illness for over 100 years. They were discovered by an American scientist, Dr. Daniel E. Salmon.

Q. What is salmonella-induced illness?

A. Salmonella-induced illness is an infection caused by the bacteria Salmonella. According to the Centers for Disease Control and Prevention (CDC), salmonellosis causes an estimated 1.4 million cases of foodborne illness and more than 500 deaths annually in the United States. The Surveillance Report from the Food Diseases Active Surveillance (FoodNet) for 2004, identified Salmonella as the most common bacterial infection reported. (42% Salmonella, 37% Campylobacter, 15% Shigella, 2.6% E. coli O157:H7, and 3.4% others such as Yersinia, Listeria, and Vibrio).

FoodNet is a collaborative project among CDC, the 10 Emerging Infections Program sites (EPIs), USDA, and the U.S. Food and Drug Administration (FDA). One of the objectives of FoodNet is to measure effectiveness of a variety of preventive measures in reducing the incidence of foodborne illness attributable to the consumption of meat, poultry, and other foods.

Q. What are the symptoms of salmonella-induced illness?

A. Most people experience diarrhea, abdominal cramps, and fever within 8 to 72 hours after the contaminated food was eaten. Additional symptoms may be chills, headache, nausea, and vomiting. Symptoms usually disappear within 4 to 7 days. Many people with salmonellosis recover without treatment and may never see a doctor. However, Salmonella infections can be life-threatening especially for infants and young children, pregnant women and their unborn babies, and older adults, who are at a higher risk for foodborne illness, as are people with weakened immune systems (such as those with HIV/AIDS, cancer, diabetes, kidney disease, and transplant patients).

Q. Are there long-term consequences?

A. Persons with diarrhea usually recover completely, although it may be several months before their bowel habits are entirely normal. A small number of persons who are infected with Salmonella may develop pains in their joints, irritation of the eyes, and painful urination. This is called Reiter’s syndrome. It can last for months or years and can lead to chronic arthritis that is difficult to treat.

Q. How do people get salmonella-induced illness?

A. Salmonella lives in the intestinal track of humans and other animals, including birds. Salmonella is usually transmitted to humans by eating foods contaminated with animal feces. Salmonella present on raw meat and poultry could survive if the product is not cooked to a safe minimum internal temperature, as measured with a food thermometer.

Salmonella can also cause foodborne illness (salmonellosis) through cross-contamination , e.g., when juices from raw meat or poultry come in contact with ready-to-eat foods, such as salads.

Food may also become contaminated by the unwashed hands of an infected food handler. Salmonella can also be found in the feces of some pets, especially those with diarrhea. People can become infected if they do not wash their hands after contact with these feces. Reptiles are particularly likely to harbor Salmonella. People should always wash their hands immediately after handling a reptile, even if the reptile is healthy.

Q. What foods are most likely to make people sick?

A. Any raw food of animal origin, such as meat, poultry, milk and dairy products, eggs, seafood, and some fruits and vegetables may carry Salmonella bacteria. The bacteria can survive to cause illness if meat, poultry, and egg products are not cooked to a safe minimum internal temperature as measured with a food thermometer and fruits and vegetables are not thoroughly washed. The bacteria can also contaminate other foods that come in contact with raw meat and poultry. Safe food handling practices are necessary to prevent bacteria on raw food from causing illness.

Q. Are chickens labeled "Kosher," "free-range, " "organic," or "natural" lower in Salmonella bacteria?

A. FSIS does not know of any valid scientific information that shows that any specific type of chicken has more or less Salmonella bacteria than other poultry.

Q. What is FSIS doing to prevent Salmonella contamination?

A. The Food Safety and Inspection Service is the public health regulatory Agency in the USDA responsible for the safety of the nation’s commercial supply of meat, poultry and egg products. As part of this responsibility, FSIS issued the "Pathogen Reduction; Hazard Analysis and Critical Control Point (PR/HACCP) Systems, Final Rule" in 1996. This rule sets Salmonella performance standards for establishments slaughtering selected classes of food animals or those producing selected classes of raw ground products to verify that industry systems are effective in controlling the contamination of raw meat and poultry products with disease-causing bacteria, like Salmonella.

FSIS inspectors make sure the establishments are meeting the standards by collecting randomly selected product samples and submitting them to an FSIS laboratory for Salmonella analysis. FSIS requires all plants to reduce bacteria by means of the PR/HACCP system.

Q. How can consumers prevent salmonella illness?

A. Bacteria on raw foods of animal origin do not have to cause illness. The key to preventing illness at home, in a restaurant, at a church picnic, or anywhere else is to prevent the bacteria from growing to high levels and to destroy the bacteria through cooking to a safe minimum internal temperature. Follow these guidelines for safe food preparation:

CLEAN: Wash Hands and Surfaces Often

* Wash your hands with warm soapy water for 20 seconds before and after handling food and after using the bathroom, changing diapers, and handling pets.
* Wash utensils, cutting boards, dishes, and countertops with hot soapy water after preparing each food item and before you go on to the next item.
* Consider using paper towels to clean kitchen surfaces. If you use cloth towels, wash them often in the hot cycle of your washing machine.

SEPARATE: Don’t Cross-contaminate

* Separate raw meat, poultry, and seafood from other foods in your grocery shopping cart and in your refrigerator.
* If possible, use one cutting board for fresh produce and a separate one for raw meat, poultry, and seafood.
* Always wash cutting boards, dishes, countertops, and utensils with hot soapy water after they come in contact with raw meat, poultry, and seafood.
* Never place cooked food on a plate that previously held raw meat, poultry, or seafood.

COOK: Cook to Safe Temperatures

Use a clean food thermometer when measuring the internal temperature of meat, poultry, casseroles, and other foods to make sure they have reached a safe minimum internal temperature:

* Beef, veal, and lamb steaks, roasts, and chops to 145 °F.
* All cuts of pork to 160 °F.
* Ground beef, veal and lamb to 160 °F.
* Egg dishes, casseroles to 160 °F.
* All poultry should reach a safe minimum internal temperature of 165 °F.
* Stuffed poultry is not recommended. Cook stuffing separately to 165 °F.
* Leftovers to 165 °F.
* Fish should reach 145 °F as measured with a food thermometer.
* Bring sauces, soups, and gravy to a boil when reheating.
* Reheat other leftovers thoroughly to at least 165 °F.

CHILL: Refrigerate Promptly

* Keep food safe at home, refrigerate promptly and properly. Refrigerate or freeze perishables, prepared foods, and leftovers within 2 hours (1 hour if temperatures are above 90 °F).
* Freezers should register 0 °F or below and refrigerators 40 °F or below.
* Thaw food in the refrigerator, in cold water, or in the microwave. Foods should not be thawed at room temperature. Foods thawed in the microwave or in cold water must be cooked to a safe minimum internal temperature before refrigerating.
* Marinate foods in the refrigerator.
* Divide large amounts of leftovers into shallow containers for quick cooling in the refrigerator.
* Don’t pack the refrigerator. Cool air must circulate to keep food safe.

source: http://foodconsumer .org/7777/ 8888/B_iological _A_gents_ 38/022006592007_ Salmonella_ Questions_ and_Answers. shtml